Total Tayangan Halaman

Rabu, 14 Desember 2011

TEORI BELAJAR


BEBERAPA MATERI TEORI BELAJAR
Pendahuluan
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan suatu kegiatan tugas professional pendidikan, yang bertolak dari perubahan kondisi pembelajaran saat ini dan merekonstruksi suatu model pembelajaran ke masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal itu perlu dipahami terlebih dahulu apa dan bagaimana model dalam konteks praktik pembelajaran.
Menurut Mills (1989:4), model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Perumusan model mempunyai tujuan: (1) memberikan gambaran kerja sistem untuk periode tertentu, dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan perubahan; (2) memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi keteraturan sebuah sistem; (3) memproduk model yang mempresentasikan data dan format ringkas dengan kompleksitas rendah.


Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran.
Model Mengajar
Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme:
§ Piaget
Pembelajaran konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari luar.
§ Konstrukstivisme personal
pembelajaran menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
§ Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.
§ Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2) pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh individu setelah melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang dimilikinya.
Pergeseran Konsep Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model belajar. Asumsi pergeseran tersebut, bertolak dari peserta didik yang diharapkan dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan keterampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: a) Behaviroisme, b) Kognitivisme, dan c) Konstruktivisme.
a. Pembelajaran Behavirosime
Good et. al.(1973) menganggap Behaviorisme atau tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yang terbina akan memberi rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
b. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (2) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar; dan (3) symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1) Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah diketahui sebelumnya; DAN (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)
Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme:
§ Piaget
Pembelajaran konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari luar.
§ Konstrukstivisme personal
pembelajaran menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
§ Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.
§ Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2) pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh individu setelah melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman subjektif.
Implikasi konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai dengan kemampuannya; (3) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui bahwa peserta didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan modalitas belajar yang dimilikinya.
2. Pengembangan Model Pembelajaran
Berpijak pada tiga teori belajar seperti dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus selaras dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, apabila kita menganut teori behaviorisme, maka model pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong pada kelompok perilaku. Untuk penganut teori kognitivisme, model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan informasi. Adapun untuk yang menganut teori belajar konstruktivisme, maka model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yang bersifat interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada masalah. Hal ini didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh konstruktivisme, yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru.
a. Pengembangan model pembelajaran behaviorisme.
Sesuai dengan pilosofis yang dianut oleh para ahli behavioris tentang belajar, yaitu perubahan perilaku yang dapat diukur, maka dalam pengembangan model pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan perilaku baru yang dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi berdasarkan pola berfikir deduktif, dan siswa belajar secara individu (individual learning). Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih terfokus pada guru (teacher centered). Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya adalah model pembelajaran mastery, model pembelajaran langsung, model pembelajaran simulasi, model pembelajaran sosial, dan model pembelajaran berprogram. Setiap model tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan strategi.
b. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori kognitivisme.
Menurut pandangan kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan perilaku yang dapat diukur, melainkan bagaimana pengetahuan tersebut diproses. Dengan kata lain, menurut kognitivis belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons, melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan kognitivis, seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri individu tersebut terjadi proses pengolahan informasi dari saat menerima informasi baru, mengolah, menyimpan dan mengulang kembali. Menurut pandangan ini, belajar akan baik apabila diseusuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama untuk anak dan orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam proses berfikirnya, dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif.
c. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme.
Berbeda dengan teori sebelumnya, konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh langsung oleh siswa berdasarkan pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam proses pemelajarannya lebih ditekankan pada model belajar kolaboratif. Dengan kata lain, siswa belajar dalam kelompok tidak seperti pada pembelajaran konvensional, bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa seorang siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri, melainkan juga belajar dari yang lain. Dengan demikian, model pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah model pembelajaran yang terpusat pada masalah dan model belajar kolaboratif.
Trend Pembelajaran

1. Quantum Learning

Keberhasilan proses belajar yang dialami oleh seseorang, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari luar diri individu maupun yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan. Faktor yang berasal dari dalam diri individu berupa: motivasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan, dan aplikasi. Adapun yang berasal dari luar diri individu dapat berasal dari bahan ajar, pengajar, ataupun lingkungan tempat dia belajar. Proses belajar yang terjadi pada individu yang belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dalam berfikir yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Agar dalam proses belajar terjadi keseimbangan, harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri seimbang.
Quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karena itu, belajar dalam konsep quantum learning adalah memberdayakan seluruh potensi yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan.
Quantum learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai.
Lingkungan makro ialah “dunia yang luas”. Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru”. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi.
Pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu diharapkan muncul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Kemampuan dalam menyerap informasi selanjutnya dikenal dengan istilah modalitas belajar. Adapun kemampuan dalam mengatur dan mengolah informasi dikenal dengan istilah dominasi otak.
DePorter (2002) mengelompokkan modalitas seseorang menjadi tiga kelompok yaitu visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas tersebut dapat dibantu dengan menggunakan suatu alat yang dinamakan media, yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya, akan benar-benar menyadari terhadap modalitas, khususnya modalitas belajar yang dimilikinya.
Komponen modalitas secara teoretis mengandung aspek-aspek seperti yang dikemukakan Gardner (1992) mencakup berbagai cara dilakukan dalam membelajarkan diri, mencakup: (1) verbal/linguistik, (2) logical/mathematical, (3) visual/spatial, (4) body/kinesetik, (5) musical/rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan ( 8)naturalistik.
2. Quantum Teaching
Mengajar merupakan salah satu tugas seseorang yang menyandang predikat sebagai pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki seorang pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa, melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan evaluasi hasil belajar.
Mengajar pada hakekatnya merujuk pada aktivitas yang dilakukan oleh pengajar dalam rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar. Dengan demikian, mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru, alat pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut, diharapkan pada diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan nama proses belajar (Nasution, 1982).
Dalam konsep di atas, tersirat bahwa peran pengajar adalah pemimpin dan fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya menyampaikan bahan pelajaran, tetapi suatu proses dalam upaya membelajarkan peserta pembelajar. Mengingat sasaran utama dalam proses pembelajaran adalah terjadinya proses belajar, maka komponen-komponen pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, terutama modalitas yang dimilikinya.
Quantum teaching, merupakan konsep yang dikembangkan tentang mengajar ini didasarkan pada asas utama, yaitu “bawalah dunia mereka ke dunia kita dan bawalah dunia kita ke dunia mereka”. Selain itu, dikembangkan juga lima prinsip dasar, yaitu segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dikerjakan layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model yang dikembangkan terdiri dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan rancangan) dan isi yang mencakup presentasi. Kerangka rancangan belajarnya adalah tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR).
Lawatan Sejarah Sebagai Model Pembelajaran
Lawatan Sejarah adalah suatu kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites). Jika mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori behavioristik, koqnitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru dan/atau murid mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru. Terutama paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun Peraturan Menteri tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat jelaslah bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, gejala diterimanya paradigma konstruktivisme dan tren pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini terbukti dari mulai maraknya kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah) maupun non formal (pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang dikemas dalam bentuk Edutainment.
Kita sudah lama mengenal istilah learning by doing, maka learning by experiencing adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan “Edutainment”. Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju, edutainment telah ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya menjadi edutainment and technotainment (Edutechnotainment: pen). Progam ini diakui telah membuka sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat capaian siswa ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari “education and entertainment”. Dapat diartikan sebagai progam pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sendang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga kegiatan tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
Edutainment dapat digunakan untuk mengemas model pembelajaran melalui lawatan sejarah. Aplikasinya tergantung dari kebutuhan dan impact yang diharapkan oleh peserta. Lawatan sejarah yang dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih menarik bagi peserta. Sebenarnya lawatan sejarah ini hanyalah kendaraan saja. Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external issues, misalnya educational vision and mission, self esteem, sense of belonging, awarding, appreciation, product knowledge, atau competency.
Beberapa testimony mengungkapkan bahwa setelah mengikuti lawatan sejarah tingkat daerah (Laseda) maupun tingkat nasional (Lasenas – sudah 5 kali sejak 2003), peserta merasa memperoleh ”sesuatu yang baru” yang berbeda dengan sebelumnya (Kompas, 06 September 2003). Hal tersebut secara teoritik bukan hal yang mengherankan. Ada faktor-faktor kunci sukses yang terkumpul dalam diri peserta, seperti positive mental attitude, knowledge, skills, dan habit. Dengan melihat faktor-faktor tersebut, maka pendekatan penting dikembangkan adalah memberikan motivasi pada faktor positive mental attitude. Tekniknya dilakukan dengan menggali keinginan seseorang yang paling dalam dan menjadikannya sebagai main need atau main good. Sedang outputnya nanti adalah momentum seseorang untuk berubah.
Pada tahap persiapan setiap rancangan kegiatan, maka guru bertanggungjawab penuh menentukan scedule, dimana mereka secara cermat memperhitungkan alokasi waktu menit per menit. Harus dirancang agar tidak ada jeda yang menyebabkan acara jenuh. Hal ini dapat dikembangkan teknik-teknik entertainment seperti sounds, diantaranya music, illustration, video presentation, inspirational message, games. Suatu variasi yang direkomendasikan oleh pembelajaran kontukstivisme dengan quantum learningnya.
Tiap-tiap pembicara yang terlibat dalam kegiatan ini saling berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya. Mereka dapat saling mengisi dan saling menguatkan pesan (message), muatan (qoute) serta materi (material) yang akan disampaikan sebagai suatu cotinual synergy yang memiliki benang merah, yang akan memudahkan peserta untuk memahami pembelajaran yang disampaikan secara sederhana.
Lawatan sejarah ini dapat dilaksanakan dalam waktu mulai dari setengah hari hingga tiga hari, baik indoor maupun outdoor, misalnya di ballroom hotel, aula, lapangan terbuka, pool side, atau camp didaerah pegunungan atau pantai diluar kota, tergantung situs sejarahnya tentu saja. Lamanya kegiatan, penggunaan equipments serta penentuan aplikasi materi- materi outbound mempengaruhi hasil akhir, yang dapat berupa soft, middle, atau high impact. Artinya semakin tinggi impact yang dihasilkan, semakin tinggi pula motivasi orang tersebut setelah selesai mengikuti lawatan sejarah. Bahkan ia akan dapat secara positif mempengaruhi dan memotivasi teman yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce Joyce., Marsha Weil. (2000). Model of Teaching. Boston : Allyn and Bacon
Bruner, Jerome S. (1963). The Process of Education. New York : Vontage Books
Davis, Russel G. (1980). Planning Education for Development: Volume Issue and Problems in The Planning of Education in Developing Coutries. Cambridge. Massachusetts.
Gardner., White Blythe (1992). Multiple Modalities of Learning (Multiple Ontelligences).USA : CORD Communications, Inc
Good,C.V.(1973).Dictionary of Education.New York:McGraw-Hill Book Company.
McKenzie, Jamie. 2000. Beyond Edutainment and Technotainment. http://fno.org/sep00 /eliterate.html
Pannen Paulina, dkk. 2005. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Dikti. Depdiknas.
Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1997. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Dikti. Depdiknas.
Wowo Sunaryo Kuswana., Yayat, Sriyono. 2003. Model, Pendekatan, Strategi, Metode, Gaya. http://wowosk.com/artikel/kurpem-model.php.
(Sumber: http://budicahyo.wordpress.com/2008/06/08/lawatan-sejarah-sebagai-model-pembelajaran-sejarah/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar