Total Tayangan Halaman

Selasa, 17 Januari 2012

PERAN KEPALA SEKOLAH MEMAKSIMALKAN SUMBER DAYA SEKOLAH DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha pengembangan sumber daya manusia ( SDM ), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal ( sekolah ). Tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang.
Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan dari masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan teknologi. Karena Proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi semakin membuat horizon kehidupan didunia semakin meluas dan sekaligus semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi , maupun sosial.
Sejalan dengan hal diatas, Tilaar menyatakan bahwa :
“ Kesetiakawanan sosial umat manusia semakin kental, hal ini berarti kepedulian umat manusia terhadap sesamanya semakin merupakan tugas setiap manusia, pemerintah, dan sistem pendidikan nasional. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pendidikan bertugas untuk mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab setiap warga Negara terhadap kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakat dan Negara, juga umat manusia.” (H.A.R Tilaar , 2004 : 4)
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain; setiap manusia akan selalu membutuhkan dan berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai segi kehidupan. Kesetiakawanan sosial yang merupakan bagian dari proses pendidikan dan pembelajaran mempunyai peranan yang sangat kuat bagi individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan hidupnya.
Dalam proses pelaksanaannya di lapangan, kesetiakawanan sosial diwujudkan melalui interaksi antar manusia, baik individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
Interaksi antarmanusia dapat terjadi dalam berbagai segi kehidupan di belahan bumi, baik dibidang pendidikan,ekonomi, sosial, politik budaya, dan sebagainya. Interaksi di bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan masyarakat , guru dengan guru, guru dengan masyarakat disekitar lingkungannya.
Apabila dicermati proses interaksi siswa dapat dibina dan merupakan bagian dari proses pembelajaran, seperti yang dikemukan oleh Corey (1986 ) dalam Syaiful Sagala (2003 : 61 ) dikatakan bahwa :
“ Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi- kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu.”
Selanjutnya Syaiful Sagala , menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai dua karakteristik, yaitu :
 Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses berfikir. Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses Tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa , yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. “ (Syaiful Sagala,2003 : 63 )
Dari uraian diatas, proses pembelajaran yang baik dapat dilakukan oleh siswa baik didalam maupun diluar kelas, dan dengan karakteristik yang dimiliki oleh siswa diharapkan mereka mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman- temannya secara baik dan bijak.
Dengan intensitas yang tinggi serta kontinuitas belajar secara berkesinambungan diharapkan proses interaksi sosial sesama teman dapat tercipta dengan baik dan pada gilirannya mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain walaupun dalam perjalanannya mereka saling berbeda pendapat yang pada akhirnya mereka saling menumbuhkan sikap demokratis antar sesama.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivismeadalah:
“Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit ) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas,2003:11)
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center ) . Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa , sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning)
Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis ) , diantaranya :
1.        Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pelajaran yang selalu sama( monoton ) akan membosankan siswa.
2.        Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan , perkembangan siswa,. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekum, giat dan lebih bersemangat.(Slamet ,1987 :92 )
Kita yakin pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivismedalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan kita masih banyak menjumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 :24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid .
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakui bahwa banyaka faktor penyebabnya sehingga kita akan melihat akibat yang timbul pada peserta didik, kita akan sering menjumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu, merasa tersisihkan karena tidak dihargai pendapatnya, hak mereka merasa dipenjara , terkekang sehingga berdampak pada hilangnya motivasi belajar, suasan belajar menjadi monoton, dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan yang ada , sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan stakeloders mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pembelajaran di sekolah terutama guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) karena bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.

1.2.Rumusan Masalah
 Faktor-Faktor Dominan dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran diSekolah
Selanjutnya untuk meningkatkan mutu sekolah seperti yang disarankan oleh Sudarwan Danim ( 2007 : 56 ), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :
1.      Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
2.      Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa .
3.      Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4.      Kurikulum; sdanya kurikulum yang ajeg / tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan ) dapat dicapai secara maksimal;
5.      Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat ) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja
Berdasarkan pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork )yangn saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target(goals ) akan tercipta dengan baik
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa , dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus.dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah , selalu dibebankan kepada guru .lalu bagaimana kesiapan unsur-unsur tersebut dalam peningkatan mutu proses pembelajaran ?
Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan.
Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah merupakan tindakan yang dilakukan secara periodik dan terencana untuk merawat fasilitas fisik, seperti gedung, mebeler, dan peralatan sekolah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan pra sarana sekolah.
Dalam manajemen ini perlu dibuat program perawatan preventif di sekolah dengan cara pembentukan tim pelaksana, membuat daftar sarana dan pra saran, menyiapkan jadwal kegiatan perawatan, menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan pada masing-masing bagian dan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan kinerja peralatan sekolah dalam rangka meningkatkan kesadaran merawat sarana dan prasarana sekolah
.
         Sedangkan untuk pelaksanaannya dilakukan : pengarahan kepada tim pelaksana, mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi tentang program perawatan preventif untuk seluruh warga sekolah, dan membuat program lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas sekolah untuk memotivasi warga sekolah.
Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat dan sumber-sumber lainnya.

1.3.Batasan Masalah
1.3.1.Bagaimana Kondisi / Latar Belakang  Peserta Didik ?
1.3.2.Bagaimana Peran Guru dalam Pembelajaran ?
1.3.3.Bagaiamana  Kondisi Sarana Prasarana ?
1.3.4.Bagaimana Kondsi Dana  Pendukung ?
1.3.5.Bagaimana Peran Kepala Sekolah ?






BAB II
PEMBAHASAN


2.1 .Kondisi dan Latar Belakang Peserta Didik
Keberhasilan dalam penyelenggaran lembaga pendidikan ( sekolah ) akan sangat berpengaruh kepada Manjemen komponen – komponen pendukung pelaksanaan kegiatan seperti kurikulum , peserta didik , pembiayaan , tenaga pelaksana , sarana prsasrana.Komponen – komponen tersebut merupakan satu eksatuan dalam upaya pencapaian tujuan lemabaga pendidikan ( sekolah ) , artinya bahwa satu komponen memberikan dukungan bagi komponen lainnya sehinnga memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pencapaian tujuan lemabaga pendidikan ( sekolah )
Komponen peserta didik keberadaannya sangat dibutuhkan , terlebih bahwa pelaksanaan kegiatan pendidikan di sekolah , peserta didik merupakan  subjek sekaligus objek dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan – ketrampilan yang diperlukan , Oleh karena itu keberadaan peserta didik tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan saja , akan tetapi harus merupakan bagian dari kebermutuan dari lembaga pendidikan ( sekolah ) . Artinya bahwa dibutuhkan manajemen peserta didik yang bermutu tinggi bagi lembaga pendidikan ( sekolah) itu sendiri .Sehingga peserta didik itu dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi fisik , kecerdasan intelektual , sosial , emosional dan kejiwaan peserta didik.
Kebutuhan peserta didik dalam mengembangkan dirinya tentu saja beragam dalam hal pemrioritasan , seperti disatu sisi para peserta didik ingin sukses dalam hal prestasi akademik nya disisi lain juga ia juga ingin sukses dalam hal osialisasi dengan teman sebayanya ,Bahkan ada juga peserta didik yang ingin sukses dalam segala hal ,
Oemar Harmalik mendefinisikan peserta didik sebagai suatu komponen masukan dalam sistem pendidikana  , yang selamjutnya diproses dalam proses pendidikan  , sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Manajemen peserta didik merupakan upaya untuk membeikan layanan yang sebaik mungkin kepada peserta didik semenjak dari proses penerimaan sampai saat peserta didik meninggalkan lembaga pendidikan ( sekolah ) karena sudah tamat / lulus mengikuti pendidikan pada lembaga pendidikan (sekolah ).itu.
Manajemen Peserta Didik meliputi ;
·         Analisis kebutuhan peserta didik
·         Rekruitmen pesesrta didik
·         Seleksi peserta didik
·         Orientasi
·         Penenmpatan peserta didik ( Pembagian Kelas )
·         Pembinaan dan pengembangan peserta didik
·         Pencatatan dan Pelaporan
·         Kelulusan dan Alumni
Langkah pertama dalam manajemen peserta didik adalah melakukan analisi kebutuhan , yaitu penetapan siswa yang dibutuhkan oleh lembaga pendidikan  ( sekolah ) . Kegiatan yang dilakukan dalam langkah imi adalah :
·         Merencanakan jumlah peserta didik yang akan diterima oleh lembaga pendidikan ( sekolah )\
Pada sekolah sekolah ketentuan jumlah peserta didik ditentukan  Peraturan Menteri  , mosalnya untuk Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional yaitu 32 orang tiap kelasnya.
·         Menyusun program kegiatan kesiswaan
Rekruitmen peserta didik di sekolah pada hakikatnya adalah merupakan proses pencarian, menentukan dan menarik pelamar yang mampu untuk menjadi peserta didik di sekolah
Proses rekruitmen sangat menentukan proses selanjutnya yaitu seleksi.Dengan promosi dan audensi ke sekolah- sekolah satu tingkat di bawahnya menjadi salah satu upaya untuk mendapatkan calon peserta didik yang diharapkan.
Langkah selanjutnya proses seleksi peserta didik atau yang lebih dikenal dengan PSB ( Penerimaan Siswa Baru ) atau sekarang dikenal dengan  Proses Penerimaan Peserta  Didik  Baru ( PPDB) menjadi hal yang sangat krusial bagi suatu sekolah yang calon peserta didiknya
Di beberapa sekolah PPDB dilakukan untuk mengetahui bakat dan minat peserta didik dengan dilakukan beberapa tes baik berupa Tes Potensi Akademik ( TPA )  untuk mata pelajaran Matematika , Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama yang akan melanjutkan  ke Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menegah Kejuruan ( SMK) khusus sekolah yang termasuk kelompok Rintisan Bertaraf Internasional ( RSBI ) , wawancara . dengan calon peserta didik maupun orang tua ataupun wali .

2.2.Peran Guru Dalam Kegiatn Pembelajaran
           Effektifitas dan effisiensi belajar individu di s sekolah sangat bergantung pada peran guru .Abin Syamsudin ( 2003) mengemukakan bahwa pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyoygyanya dspat be rperan sebagai ;
1.      Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2.      Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3.      Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4.      Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5.      Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1.      Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2.      Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3.      Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1.      Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2.      Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3.      Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4.      Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5.      Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6.      Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7.      Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.

Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1.      Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2.      Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3.      Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4.      model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
5.      Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.

Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
1.      Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2.      seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3.      Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4.      Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
5.      Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.

Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informedterhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

2.3 Kondisi Sarana Prasarana
Perencanaan Pengadaan Sarana dan Prasarana Sekolah menurut  UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 42 menyatakan setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Sedangkan pada ayat ke-2 dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Tidak dapat kita pisahkan antara Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan sarana dan prasarana guna menyukseskan pendidikan di sekolah. Maka hal utama yang harus dilakukan dalam pengelolaan perlengkapan sekolah adalah pengadaan sarana dan prasarana.
Sarana menurut Imron dalam buku Persepektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah adalah semua piranti yang secara langsung dipergunakan dalam proses pendidikan di sekolah. Dan prasarana yaitu semua piranti yang secara tidak langsung di pergunakan dalam proses pendidikan di sekolah. Menurut Tim Pakar Manajemen Pendidikan (2003:86) “pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerjasama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien”.
Aktivitas pertama dalam manajemen sarana prasarana pendidikan adalah pengadaan sarana prasarana pendidikan. Pengadaan perlengkapan pendidikan biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan pendidikan di suatu sekolah menggantikan barang-barang yang rusak, hilang, di hapuskan, atau sebab-sebab lain yang dapat di pertanggung jawabkan sehingga memerlukan pergantian, dan untuk menjaga tingkat persediaan barang setiap tahun dan anggaran mendatang. Pengadaan perlengkapan pendidikan seharusnya di rencanakan dengan hati-hati sehingga semua pengadaan perlengkapan sekolah itu selalu sesuai dengan pemenuhan kebutuhan di sekolah.
Langkah-langkah Perencanaan Pengadaan Sarana dan Prasarana
Kebutuhan akan sarana dan prasarana di sekolah haruslah direncanakan. Sebagai manajer pendidikan, kepala sekolah haruslah mempunyai proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana untuk jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek. Proyeksi kebutuhan akan sarana dan prasana sekolah dibuat dengan mempertimbangkan dua aspek, ialah kebutuhan aspek pendidikan di satu pihak dan kemampuan sekolah di pihak lain.
Sarana dan prasarana yang berupa gedung, sangat bagus kalau dibuat maketnya, agar dapat diproyeksikan arah pengembangannya. Arah pengembangan tersebut, tentu sejalan dengan proyeksi kebutuhan di masa yang akan datang. Guna memproyeksikan kebutuhan sarana dan prasarana sekolah di masa yang akan datang, data tentang perkembangan peserta didik, data tentang kebutuhan layanan pendidikan terhadap mereka, data tentang kebutuhan berbagai macam ruangan baik untuk teori maupun praktik, haruslah dapat di identifikasi. Dengan menggunakan analisis regresi, proyeksi kebutuhan 5 tahun, 10 tahun dan 25 tahun kedepan akan dibuat.
Imron dalam buku Persepektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah menyatakan bahwa ada sejumlah langkah-langkah perencanaaan pengadaan sarana dan prasarana sekolah sebagai berikut :
a)        Menampung semua usulan pengadaan perlengkapan sekolah yang diajukan oleh setiap unit kerja dan atau menginventarisasi kekurangan perlengkapan sekolah.
b)        Menyusun rencana kebutuhan perlengkapan sekolah untuk periode tertentu, misalnya untuk satu semester atau satu tahun ajaran.
c)        Memadukan rencana kebutuhan yang telah disusun dengan perlengkapan yang tersedia sebelumnya.
d)       Memadukan rencana kebutuhan dengan dana atau anggaran sekolah yang tersedia. bila dana yang tersedia tidak memadai untuk mengadakan kebutuhan tersebut, maka perlu dilakukan seleksi terhadap semua kebutuhan perlengkapan yang telah direncanakan dengan melihat urgensi setiap perlengakapan yang dibutuhkan. Semua perlengkapan yang urgen segera di daftar
e)        Memadukan rencana (daftar) kebutuhan perlengkapan yang urgen dengan dana atau anggaran yang tersedia bila ternyata masih melebihi anggaran yang tersedia, maka perlu dilakukan seleksi lagi dengan cara membuat skala prioritas.
f)         Menetapan rencana pengadaan akhir.

           Berdasarkan uraian tentang prosedur perencanaan pengadaan di atas dapat di tegaskan bahwa perencanaan perencanaan perlengkapan sekolah tidaklah mudah. Perencanaan perlengkapan pendidikan bukan sekedar sebagai upaya mencari ilham, melainkan upaya memikirkan perlengkapan yang di perlukan di masa yang akan datang dan bagaimana pengadaannya secara sistematis, rinci, dan teliti berdasarkan informasi dan realistis tentang kondisi sekolah.
            Agar prisip-prinsip tersebut betul-betul terpenuhi, semua pihak yang di libatkan atau di tunjuk sebagai panitia perencanaan pengadaan perlengkapan sekolah perlu mengetahui dan mempertimbangkan program pendidikan, perlengkapan yang sudah di miliki, dana yang tersedia, dan harga pasar. Dalam hubungannya dengan program pendidikan yang perlu di perhatikan adalah organisasi kurikulum sekolah, metode pengajaran, dan media pengajaran yang di perlukan.
Ada beberapa karakteristik esensial perencanaan pengadaan perlengkapan sekolah, yaitu sebagai berikut :
a)        Merupakan proses menetapkan dan memikirkan.
b)        Objek pikir dalam perencanaan perlengkapan sekolah adalah upaya memenuhi sarana prasarana pendidikan yang di butuhkan sekolah.
c)        Tujuan perencanaan perlengkapan sekolah adalah efektifitas dan efisiensi dalam pengadaan perlengkapan sekolah.
d)       Perencanaan perlengkapan sekolah seherusnya memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)        Harus betul-betul merupakan proses intelektual;
2)        Di dasarkan pada analisis kebutuhan melalui studi komprehensif menganai masyarakat sekolah dan kemungkinan pertumbuhannya, serta prediksi populasi sekolah;
3)        Harus realistis, sesuai dengan kenyataan anggaran;
4)        Visualisasi hasil perencanaan perlengkapan sekolah harus jelas dan rinci, baik jumlah, jenis, merek, dan harganya.

Setelah rencana pengadaan sarana dan prasarana dibuat langkah berikutnya yakni pengadaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengadaan sarana dan prasrana ini, bisa dilakukan dengan pembelian, meminta sumbangan, pengajuan bantuan ke pemerintah (untuk sekolah-sekolah negeri) dan pengajuan kepihak yayasan (untuk sekolah-sekolah swasta),pengajauan ke komite sekolah (dewan sekolah),

2.4 Kondisi Dana Pendukung
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
          Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar-mengajar di sekolah bersama dengan komponen-komponen yang lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun yang tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini penting, terutama dalam rangka MBS, yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah karena pada umumnya dunia pendidikan selalu dihadapkan pada masalah keterbatasan dana, apa lagi dalam kondisi krisis pada sekarang ini.
         Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu
:
1)        pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, yang bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan;
2)        orang tua atau peserta didik;
3)        masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat. Berkaitan dengan peneriman keuangan dari orang tua dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan, tanggung jawab atas pemenuhan dana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,masyarakat dan orang tua. Adapun dimensi pengeluaran meliputin biaya rutin dan biaya pembangunan.

               Biaya rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun ke tahun, seperti gaji pegawai (guru dan non guru), serta biaya operasional, biaya pemeliharaan gedung, fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang-barang habis pakai). Sementara biaya pembangunan, misalnya, biaya pembelian atau pengembangan tanah, pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung, penambahan furnitur, serta biaya atau pengeluaran lain unutk barang-barang yang tidak habis pakai. Dalam implementasi MBS, manajemen komponen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran, penggunaan, sampai pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar semua dana sekolah benar-benar dimanfaatkan secara efektif, efisien, tidak ada kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme.

                Kepala sekolah dalam hal ini, sebagai manajer, berfungsi sebagai otorisator, dan dilimpahi fungsi ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun, tidak dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan karena berkewajiban melakukan pengawasan kedalam. Bendaharawan, disamping mempunyai fungsi-fungsi bendaharawan, juga dilimpahi fungsi ordonator untuk menguji hak atas pembayaran.
           
             Penggunaan anggaran dan keuangan, dari sumber manapun, apakah itu dari pemerintah ataupun dari masyarakat perlu didasarkan prinsip-prinsip umum pengelolaan keuangan sebagai berikut:
1)      Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan.
2)      Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/ kegiatan.
3)      Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan untuk apa keuangan lembaga tersebut perlu dicatat dan dipertanggung jawabkan serta disertai bukti penggunaannya.
4)      Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/ hasil produksi dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan
 Rencana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Sekolah
Implementasi prinsip-prinsip keuangan diatas pada pendidikan, khususnya dilingkungan sekolah dan keserasian antara pendidikan dalam keluarga, dalam sekolah, sekolah dan dalam masyarakat, maka untuk sumber dana sekolah, sekolah itu tidak hanya diperoleh dari anggaran dan fasilitas dari pemerintah atau penyandang dana tetap saja, tetapi dari sumber dan dari ketiga komponen di atas.
Untuk itu disekolah sebenarnya juga perlu dibentuk organisasi orang tua siswa yang implementasinya dilakukan dengan membentuk komite sekolah. Komite tersebut beranggotakan wakil wali siswa, tokoh masyarakat, pengelola, wakil pemerintah dan wakil ilmuwan/ ulama diluar sekolah dan dapat juga memasukkan kalangan dunia usaha dan industri.
       Selanjutnya pihak sekolah bersama komite atau majelis sekolah pada setiap awal tahun anggaran perlu bersama-sama merumuskan RAPBS sebagai acuan bagi pengelola sekolah dalam melaksanakan manajemen keuangan yang baik.
Anggaran adalah rencana yang diformulasikan dalam bentuk rupiah dalam jangka waktu atau periode tertentu, serta alokasi sumber-sumber kepada setiap bagian kegiatan. Anggaran memiliki peran penting didalam perencanaan, pengendalian dan evaluasi kegiatan yang dilakukan sekolah. Maka seorang penanggung jawab program kegiatan disekolah harus mencatat anggaran serta melaporkan realisasinya sehingga dapat dibandingkan selisih antara anggaran dengan pelaksanaan serta melakukan tindak lanjut untuk perbaikan.




           Ada dua bagian pokok anggaran yang harus diperhatikan dalam penyusunan RAPBS, yaitu:

a)    Rencana sumber atau target penerimaan/ pendapatan dalam satu tahun yang bersangkutan, termasuk didalamnya keuangan bersumber dari:
1)      kontribusi orang tua siswa,
2)      sumbangan dari individu atau organisasi,
3)      sumbangan dari pemerintah,
4)      dari hasil usaha
b)   Rencana penggunaan keuangan dalam satu tahun yang bersangkutan, semua penggunaan keuangan sekolah dalam satu tahun anggaran perlu direncanakan dengan baik agar kehidupan sekolah dapat berjalan dengan baik.
          Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RAPBS adalah harus menerapkan prinsip anggaran berimbang, artinya rencana pendapatan dan pengeluaran harus berimbang diupayakan tidak terjadi anggaran pendapatan minus. Dengan anggaran berimbang tersebut maka kehidupan sekolah akan menjadi solid dan benar-benar kokoh dalam hal keuangan, maka sentralisasi pengelolaan keuangan perlu difokuskan pada bendaharawan sekolah, dalam rangka untuk mempermudah pertanggung jawaban keuangan.
Penyusunannya hendaknya mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Menginventarisasi rencana yang akan dilaksanakan.
b)      Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya.
c)      Menentukan program kerja dan rincian program.
d)     Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
e)      Menghitung dana yang dibutuhkan.
f)       Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.

            Rencana tersebut setelah dibahas dengan pengurus dan komite sekolah, maka selanjutnya ditetapkan sebagai anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Pada setiap anggaran yang disusun perlu dijelaskan apakah rencana anggaran yang akan dilaksanakan merupakan hal baru atau kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya dengan menyebut sumber dana sebelumnya.

            Dalam setiap anggaran yang disusun untuk kegiatan-kegiatan dilingkungan sekolah, paling tidak harus memuat 6 hal atau informasi sebagai berikut:
a)      Informasi rencana kegiatan: sasaran, uraian rencana kegiatan, penanggung jawab, rsencana baru atau lanjutan.
b)      Uraian kegiatan program, program kerja, rincian program.
c)      Informasi kebutuhan: barang/ jasa yang dibutuhkan, volume kebutuhan.
d)     Data kebutuhan harga satuan, jumlah biaya yang dibutuhkan untuk seluruh volume kebutuhan.
e)      Jumlah anggaran: jumlah anggaran untuk masing-masing rincian program, program, rencana kegiatan, dan total anggaran untuk seluruh rencana kegiatan.
f)       Sumber dana: total sumber dana, masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.


         Dalam pelaksanaan kegiatan, jumlah yang realisasikan bisa terjadi tidak sama dengan rencana anggarannya, bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Ini dapat terjadi karena beberapa sebab:
a)      Adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran.
b)      Terjadinya penghematan atau pemborosan.
c)      Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah diprogramkan.
d)     Adanya perubahan harga yang tidak terantisipasi.
e)      Penyusunan anggaran yang kurang tepat

        Semua pengeluaran keuangan sekolah dari sumber manapun harus dipertanggung jawabkan, hal tersebut merupakan bentuk transparansi dalam pengelolaan keuangan. Namun demikian prinsip transparansi dan kejujuran dalam pertanggung jawaban tersebut harus tetap dijunjung tinggi. Dalam kaitan dengan pengelolaan keuangan tersebut, yang perlu diperhatikan oleh bendaharawan adalah:
1)      Pada setiap akhir tahun anggaran, bendara harus membuat laporan keuangan kepada komite sekolah untuk dicocokkan dengan RAPBS.
2)      Laporan keuangan tersebut harus dilampiri bukti-bukti pengeluaran yang ada.
3)      Kwitansi atau bukti-bukti pembelian atau bukti penerimaan dan bukti pengeluaran lain.
4)      Neraca keuangan juga harus ditunjukkan untuk diperiksa oleh tim pertanggung jawaban keuangan dari komite sekolah.




2.5 Peran Kepala Sekolah dalam Kegiatan Pembelajaran
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah ,, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.



2.5.1  Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.

2.5.2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.

2.5.3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.

2.5.4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik

2.5.5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).

2.5.6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003).

2.5 7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.











BAB III
KESIMPULAN


Setiap Kepala Sekolah menghendaki sekolah yang dipimpinnya dapat mencapai kinerja yang tinggi, namun harapan ini tidak sedikit yang tidak tercapai. Hal ini dapat terjadi oleh karena berbagai alasan yang mendasarinya. Tantangan dan hambatan, serta kondisi lingkungan sekolah (fisik dan manusia) yang dipimpinnya merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat tercapainya harapan yang dimaksud, apabila tidak dikelola dengan baik.
Sumber daya manusia guru, merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian tujuan tersebut. Guru yang memiliki motivasi yang tinggi merupakan harapan setiap Kepala Sekolah sebagai pemimpinnya. Namun, demikian harapan tersebut sangat ditentukan oleh kepiawaian Kepala Sekolah dalam memenejemeni sekolahnya. Sebab, guru adalah manusia yang dinamis, yang memerlukan ”perlakuan” atau perlu pengetahuan yang mumpuni yang dituntut oleh Kepala Sekolah dalam merencanakan, mengorganisir, mengarahkan dan mengontrol aktivitas sekolah secara keselutuhan.
Motivasi dan Kepuasan dalam bekerja menjadi sangat penting untuk mencapai keberhasilan kinerja guru dan sekolah. Keberadaan motivasi dan kepuasan kerja dalam diri seorang guru penting diketahui dan dipahami, untuk kemudian dikembangkan guna tujuan-tujuan organisasi. Tentu saja, pemanfaatan motivasi dan kepuasan kerja tersebut didasari atau dilandasi serta ditunjang dengan faktor-faktor pendukung lainnya, misalnya kedisiplinan, kesejahteraan, pemberdayaan, dan lain-lain. Bagaimana, motivasi dan kepuasan kerja tersebut dapat dibangun, inilah peran dan tanggung jawab Kepala Sekolah sebagai pemimpin, pembina dan pengayom di lingkungan sekolah.
Seperti kita tahu, manusia hidup diberikan berbagai kecerdasan untuk melaksanakan kehidupannya, yaitu berupa kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan menghadapi tantangan, kecerdasan spiritual, dan lain-lain. Semua kecerdasan tersebut, diyakini dapat mempengaruhi pembentukan kualitas pribadi manusia.
                Dalam kehidupan, ada sementara orang yang merasa mempunyai banyak kecerdasan dalam merealisasikannya dalam hidup, ia justru banyak bersinggungan dengan banyak orang di tempatnya bekerja, membuat kehidupan orang lain tidak nyaman, tidak aman.         Keberadaannya di dalam lingkungan kerja tidak menjadikan orang lain berkembang, justru sebaliknya hanya menjadi batu sandungan.
Tidak jarang pula, kecerdasan intelektual yang tinggi menjadikan seseorang sebagai aktor-aktor intelektual yang memperalat orang lain untuk memperkeruh suasana demi keuntungan pribadinya sendiri. Kepiawaian dalam mengelola kecerdasan emosi juga sering sengaja digunakan sebagai ”topeng-topeng” untuk melakukan ”manipulasi” perilaku yang berpotensi menghancurkan orang lain, ”menipu” pimpinan: berpura-pura baik, dan lain-lain.
          Uraian tersebut merupakan bagian dari ”fitrah” manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT tentang berbagai kecerdasan untuk manusia. Dalam dunia pendidikan, keadaan tersebut, juga dimiliki oleh setiap guru sebagai pribadi manusia. Semua hal-hal negatif dan berpotensi menjadi penghambat dalam melaksanakan pekerjaan mengajar selayaknya dihilangkan atau diminimalisir dengan kondisi dan perlakuan kepemimpinan Kepala Sekolah.
               Kepala Sekolah sebagai pemimpin, memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk bagaimana mengelola dan membangun kecerdasan pribadi guru menjadi manusia yang ”piawai” mengelola dirinya untuk berkembang dan berkaryaguna bagi dirinya dan lingkungan organisasinya. Disinilah Kepala Sekolah, untuk berperan sebagai ”agent of change” dalam membentuk kepiawaian dalam meningkatkan ”Kualitas Pribadi” masing-masing guru, melalui Personal Quality Management to Development of Motivasi and Job Satisfaction” sehingga dapat mencapai High Performance.
Sebelum menjelaskan lebih jauh peran Kepala Sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pribadi setiap guru, sebagai titik awal perlu diketahuan dan dipahami tentang kualitas pribadi manusia, yaitu bahwa kita dapat mengembangakn kualitas pribadi manusia tidak hanya oleh peranan satu faktor saja. Ada banyak faktor yang dapat membuat kita dapat mengembangkan dan mengoptimalkan kualitas pribadi, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan kehidupan mental yang meliputi sikap, sifat, karakter dan kepribadian. Namun demikian, perlu disadari bahwa kita merasa cukup puas apabila kita mempunyai aspek-aspek tersebut dengan sendirinya kita akan memperoleh kualitas dalam kehidupan pribadi. Kuncinya adalah keberanian untuk mencoba dan melakukan tindakan-tindakan positif secara nyata dari Kepala Sekolah, Go Action!!.
         Untuk dapat mengimplementasikan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental maka Kepala Sekolah harus membangkitkan pilar-pilar yang kuat yang dimiliki oelh setiap pribadi guru. Empat pilar tersebut meliputi: Kesadaran Diri, Pengaturan Diri, Pembiasaan Diri dan Evaluasi Diri. Keempat pilar tersebut merupakan suatu siklus yang saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain, untuk kemudian membangun suatu motivasi diri masing-masing pribadi guru, sehingga memiliki ”Semangat kerja” dan ”Kepuasan kerja” yang tinggi, pada akhirnya mampu mencapai kinerja yang tinggi, ”High Performance”.
4 Pilar Membangun Kualitas Pribadi

Untuk membangun kualitas pribadi individu guru dalam upaya meningkatkan motivasi dan kerpuasan kerja dapat dilakukan dengan 4 pilar yaitu : Kesadaran Diri, Pengaturan Diri, Pembiasaan Diri dan Evaluasi Diri, diharapkan dengan terbentuknya pribadi yang berkualitas akan menghidupkan/mengungkit motivasi (Leverage to Motivation) dalam diri setiap guru yang pada akhirnya dapat memberikan semangat dan kepuasan dalam bekerja untuk mencapai hasil kerja yang tinggi (high performance).



PILAR 1: ”Kesadaran Diri” 
           
Kesadaran diri yang dimiliki oleh setiap guru perlu dibangkitkan, melalui penyadaran ”kesadaran diri” tersebut, seseorang akan menyadarkan seseorang untuk mau melakukan introspeksi diri, bahwa kegagalan segala sesuatu harus dimulai dari diri sendiri, atas kehendak dirinya, dan berdasarkan pengendalian diri dalam diri sendiri. Dengan demikian, di dalam diri setiap individu guru ada kesadaran untuk memahami bahwa kualitas pribadi dapat berkembang dengan optimal apabila guru mempunyai kemauan untuk mewujudkannya.
             Kesadaran diri yang dibangun seharusnya dapat membawa suatu pemahaman bahwa kualitas pribadi yang dimiliki merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek yang ada di dalam diri setiap guru. Tidak hanya peranan dari aspek pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi aspek kemauan yang merupakan kehidupan mentalitas justru lebih banyak akan menjadi dasar bagi pengembangan kualitas pribadinya. Jadi, apabila kesadaran mengenai berbagai aspek tersebut akan menentukan pengembangan kualitas dirinya, tentu saja diharapkan setiap guru juga mempunyai kesadaran bahwa setiap aspek tersebut harus selalu diasah supaya tetap dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan yang ada, baik di sekolah maupun di masyarakat.
               Kesadaran diri untuk selalu memperbarui keadaan pengetahuan, dan kepribadian, merupakan suatu langkah untuk membangun kesadaran bahwa kesuksesan dalam bidang apapun tidak pernah akan tercapai apabila kita tidak mempunyai kesadaran tentang potensi-potensi yang dimiliki, baik berupa pengetahuan, keterampilan, ataupun kepribadian guru. Untuk mewujudkan kesuksesan tersebut Kepala Sekolah harus membangun kesadaran bahwa dibutuhkan suatu ”proses”, bukan semata-mata ditentukan oleh hasil akhir yang berhasil diraih oleh guru.
Pilar 2: ”Pengaturan Diri” 
         
Pengaturan diri akan membawa konsekuensi bahwa setiap aktivitas yang dilakukan oleh guru senantiasa merupakan bagian dari kemampuannya melakukan pengaturan diri sendiri. Kita adalah subjek bagi diri sendiri, jadi tanggung jawab Kepala Sekolah adalah menyadarkan guru bahwa dia adalah subjek bagi dirinya sendiri. ”Sebelum mengatur orang lain, aturlah diri sendiri”, ungkapan yang sarat makna untuk menyadarkan guru bahwa untuk bisa mengatur siswa, maka kita harus mampu mengatur diri kita, dan bahwa segala sesuatu ada di tangan kita.
Pengaturan diri yang efektif dapat diukur apabila dalam diri kita ada kemampuan untuk menetapkan sasaran-sasaran yang akan dituju. Terutama sasaran-sasaran pribadi. Ini merupakan ”roh” yang akan membangkitkan kita untuk mau melakukan aktivitas-aktivitas konkret. Dengan adanya aktivitasp-aktivitas tersebut ini dapat terlihat dengan jelas bagaimana efektivitas guru dalam mengatur dirinya sendiri.
Kegagalan guru dalam mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, kebanyakan bukan karena guru tidak mempunyai pengetahuan ataupun keterampilan. Banyak sasaran yang gagal dicapai oleh karena guru lebih banyak dikendalikan oleh berbagai macam emosi yang dimilikinya.
Jika demikian yang terjadi, aktivitas-aktivitas guru lebih banyak ditentukan oleh berbagai situasi emosi yang sedang dialami oleh guru. Sering terjadi, aktivitas-aktivitas yang dilakukan bukan berdasarkan tingkat kepentingan ataupun prioritas, tetapi lebih banyak hanya sebagai pelampiasan ekspresif dari keadaan emosi yang sulit dikelola dengan efektif. Memang tidak selamanya hal tersebut menghasilkan sesuatu yang buruk. Namun, apabila lebih banyak dikendalikan oleh keadaan emosional diri, hasilnya pun tentu saja tidak dapat dipertanggung jawabkan.
            Kualitas pribadi akan terlihat dengan jelas ketika suatu tindakan ada sasaran yang jelas, dan tindakan tersebut dilakukan saat diri mampu mengelola emosi secara efektif, dan berdasarkan tingkat kepentingan melalui efektivitas kita dalam mengelola waktu yang ada.

Pilar 3: ”Pembiasaan Diri” 
            
Pembiasaan diri akan membawa seseorang utnuk mengubah paradigma. Oleh karena itu, peran Kepala Sekolah mampu mengarahkan dan menuntun setiap guru untuk dapat melakukan pembiasan diri yang positif. Jadi, jika Kepala Sekolah menginginkan kualitas pribadi yang dimiliki guru berkembang, senantiasa harus bersedia melakukan perubahan-perubahan terhadap diri sendiri sebagai teladan sehingga guru akan mengikutinya, pada akhirnya guru dapat melakukan pembiasan dirinya, melalui penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan yang terjadi di sekitarnya.
Semuanya dapat berjalan dengan baik apabila hal tersebut dijadikan oleh masing-masing guru sebagai kebiasan hidup. Persoalanya, dalam menyikapi perubahan seringkali hanya senang pada satu fokus untuk sekedar mengubah perilaku, sementara perubahan mentalitas yang dilakukannya belum sepenuhnya menjadi sasaran pembenahan.
Tidak mengherankan apabila perubahan yang terjadi di dalam diri seringkali hanya bertahan sementara waktu dan cenderung kembali ke pola-pola perilaku yang lama. Hal tersebut akan terjadi juga ketika setiap guru menyesuaikan diri hanya pada aspek perilaku, sementara aspek mentalitasnya belum siap menyesuaikan diri. Oleh karena itu, membiasakan diri dengan perubahan dan membiasakan diri untuk menyesuaikan diri harus terus diupayakan oleh Kepala Sekolah, sehingga akan menjadi suatu kebiasan.
Pilar 4: ”Evaluasi Diri”
         
Evaluasi diri merupakan aktivitas konkret yang seharunya dilakukan oleh setiap guru, untuk melihat sejauhmana efektivitas sikap dan tindakan guru, apakah menghasilkan sesuatu yang optimal bagi dirinya, orang lain, atau lingkungan kerja dan masyarakat.
Dalam evaluasi diri ini ada semacam kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri (self appraisal), meskipun harus juga melibatkan orang lain, tetapi intinya adalah masing-masing diri guru itu sendiri.
Dalam mengevaluasi diri, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikemukakan adalah: ”sudah optimalkah kita dalam menggunakan potensi-potensi yang dimiliki?, untuk itu di dalam setiap diri perlu ada keberanian untuk meminta umpan balik dari orang lain. Peranan kepala sekolah dalam hal ini, sangat berarti untuk memberikan umpan balik, karena dari orang lain sesungguhnya mereka dapat bercermin.
Kepala Sekolah perlu mengetahui dan ”pandai” untuk ”memancing” keberanian guru untuk membuka diri terhadap umpan balik, dalam bentuk kritikan pada dasarnya berguna untuk menumbuhkan kesadaran bahwa dengan itu guru berani mengevaluasi diri supaya potensi-potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal.
Kemampuan evaluasi diri ini juga merupakan kesempatan bagi guru untuk kembali membangun kesadaran diri, melakukan pengaturan diri, dan melakukan pembiasaan diri dalam seluruh aspek yang ada di dalam diri, supaya dapat menjadi lebih berkembang untuk mewujudkan kualitas pribadi.
     Pilar-pilar ini akan kuat apabila digunakan setiap saat, setiap sisi kehidupan. Peranan Kepala Sekolah dalam membangun dan mengembangkan kualitas pribadi melalui empat pilar tersebut dapat menciptakan guru yang memiliki kualitas pribadi yang kuat. Pada kebanyakan di sekolah, beberapa peran dan tugas penting hanya di”dominasi” oleh sekelompok kecil guru, misalnya oleh Staf dan Wakil Kepala Sekolah saja. Sedangkan, guru lain yang jumlahnya lebih banyak seringkali terabaikan.
     Penelantaran ”kualitas pribadi” sebagian besar dari guru ini dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, oleh karena kerja secara team tidak dapat terjalin ”kompak”, seringkali justru memunculkan: sikap masa bodoh, saya tidak terlibat/dilibatkan, dan lain-lain. Sebaliknya, pilra-pilar ini akan menjadi kuat apabila Kepala Sekolah mau menggunakannya dalam setiap sisi kehidupan organisasi. Apabila hanya didiamkan saja padahal Kepala Sekolah mengerti dan tahu bahwa pilar-pilar itu sangat berperan dalam mengembangkan kualitas hidup, maka lambat-lambat laun pilar-pilar tersebut akan menjadi keropos dan menjadi rintangan dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Sekolah kepada guru tersebut.
       Pilar-pilar yang telah digambarkan dan dijelaskan tersebut, akan merupakan suatu siklus yang terus berjalan apabila terus dibangun dan dikembangkan oleh Kepala Sekolah untuk membangun dan mengerucut pada satu titik kulminasi yaitu motivasi. Jadi, apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah dalam mengembangkan ”kualitas diri” para guru tidak lain yaitu untuk membangun motivasi guru, melalui motivasi inilah akan dihasilkan aspek kepuasan kerja, dan keduanya akan mendorong guru untuk menghasilkan high performance (kinerja tinggi).
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan penggalangan dana dari masyarakat untuk mengoptimalkan kegiatan belajar di sekolah.Penggalangan dana di dapat dari masyarakat bukan saja dari orang tua siswa tapi dapat juga dari Badan Usaha Milik Negara atau Swasta .

DAFTAR PUSTAKA


Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah. 2007. Bandung. Remaja Rosda Karya.
Dimock, ME. Dimock, GO, Administrasi Negara. 1992. Jakarta. Rineka Cipta.
Sulthon, M. Khusnuridlo, M, Manajemen Sekolah Dalam Perspektif Global, 2006, Yogyakarta, laksBang PRESSindo.

Tim Pakar Manajemen Pendidikan. 2003. Manajemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Undang- Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Bandung: Citra Umbara
Tim Pakar Manajemen Pendidikan. 2004. Perseptif Manajaemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Malang: Universitas Negeri 
Kompetensi guru dan Peran Kepala Sekolah 2008, Sudrajat A. Akhmadsudrajat.wordpress.com.

1 komentar: