Total Tayangan Halaman

Minggu, 15 Januari 2012

catatan tengtang Taufik Ismail

DENGAN PUISI

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya

Siapa yang tak kenal Taufiq Ismail! Sastrawan dan penyair angkatan ’66 ini merespons banyak hal, semisal reformasi dan bencana Tsunami dengan puisinya. Bahkan, kata pengantarnya untuk buku-buku karya penulis lain pun di nyatakan dengan puitis.

            Karya-karya Taufiq Ismail antara lain: Tirani dan Benteng (1966), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak, 1976), Puisi-Puisi Langit (1990), Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto, 1995), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998). Puisi-puisinya telah di terjemahkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan Cina, serta dijadikan syair lagu. Bersama Ali Audah dan Goenawan Muhammad, Taufiq pun menerjemahkan buku Muhammad Iqbal, The Reconstruction Thought in Islam (1964).

            “Tanpa buku, saya kira tidak mungkin saya jadi pengarang seperti sekarang.” kata Taufiq, yang lahir di bukit tinggi, 12 Juni 1935.

            Dia memang di besarkan dalam keluarga guru dan wartawan yang gemar membaca. Ada perpustakaan kecil di rumahnya. Sebulan sekali ia dibawa ayahnya ke toko buku dan diperbolehkan memilih buku yang disukainya. Taufiq kecil memiliki rak buku sendiri di kamarnya dan menjadi kutu buku. Dilahapnya buku terbitan Balai Pustaka untuk anak-anak, bahkan dicicipinya pula buku untuk dewasa, seperti novel Tak Potoes Diroendoeng Malang, karya ST. Takdir Alisjahbana dan Tiga Panglima Perang yang diterjemahan dari The Three Muskeeters karya Alexsander Dumas.

            Persentuhan dini dengan dunia sastra memantapkan keinginan Taufiq untuk menjadi sastrawan. Bakatnya terasah, proses kreatifnya dimulai dengan menulis gurindam ketika dia duduk di kelas 2 Sekolah Rakyat di Semarang pada zaman pedudukan Jepang. Dan ketika dia menjadi siswa SMU Pekalongan, sajak-sajaknya pun mulai dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah.

            Sedikitnya ada empat perpustakaan yang menjadi tempatnya menimba bacaan sastra pada masa lalu. Pertama, Perpustakaan Kota Bukit Tinggi yang terketak di rumah Taufiq sendiri. Taufiq menjadi anggota perpustakaan itu sejak kelas 2SR (1951-1952). Kepala perpustakaan itu penyair Rivai Yogie. “Dan karena membaca sajak-sajaknya, saya ingin bertemu Rivai Yogie.” kata Taufiq. Kedua, Perpustakaan di Gedung Nasional, di sebelah SMU Bogor, ketika Taufiq menjadi siswa di sana. Ketiga, Perpustakaan PII Pekalongan. Selain menjadi anggota perpustakaan itu, Taufiq dipercaya mengelolanya. Perpustakaan ini hanya dibuka pada hari Minggu. Karena itu, pada hari-hari lainya, bersama S.N.Pratmana yang kelak menjadi cerpenis terkemuka, dia berkesempatan melahap buku yang berjumlah dua ratusan tersebut.
           
Di ketiga perpustakaan tersebut, Taufik menikmati karya-karya Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin, Achdiat Kartamihardja, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, John Steinbeck, Willia Saroyan, dan Karl May. Taufiq tidak hanya membaca buku sastra, tetapi juga Pedoman Bercocok Tanam Anggrek karya Sutan Sanif, dan Membangun Gedung dengan Bertulang karya Prof. Roeseno.

            Dan perpustakaan keempat yang memperkuat kecintaanya pada sastra adalah Perpustakaan Sekolah dan Desa Whitefish Bay, Milwaukee, Wiconsin, ketika dia berstatus pelajar bea siswa AFS, 1956-1957.

            Semasa kuliah pun, Taufiq menjadi pelanggan perpustakaan yang setia. Kebiasaan membeli buku juga berlanjut. Hingga sekarang koleksi bukunya mencapai dua ribuan, yang katanya mash sedikit dibandingkan milik teman-temanya. Koleksinya tidak hanya buku sastra, tetapi juga buku-buku sosial, politik, agama, dan sebagainya. NAmun tidak ada buku yang secara khusus ia favoritkan, selain Al-Qur’an.

            Mengingat peran buku terhadap dirinya, Taufiq Ismail menjadi sangat prihatin terhadap rendahnya budaya baca pada masyarakat Indonesia. Kondisi menyedihkan ini disimpulkanya dari pengamatan yang dilakukanya terhadap tamatan SMU di 13 negara. Taufiq mendata jumlah buku sastra di perpustakaan sekolah yang wajib dibaca, dibuatkan risalahnya, dan kemudian diujikan selama mereka menjadi siswa SMU.

            Hasilnya, siswa SMU di negara terdekat seperti Malaysia, Brunei, Thailand, dam Singapura, membaca 6-7 buku wajib selama 3-4 tahun masa sekolah mereka. Sekitar 15-25 buku wajib bagi siswa SMU di Prancis, Jepang, Rusia, dan Swiis. Ada pun siswa SMU di Amerika, sekitar 40 buku. Dari sinilah, tumbuh kecintaan mereka pada buku sehingga mereka tidak merasa berat membaca buku-buku geografi, sejarah, budaya, dan sebagainya.

            Bagaimana dengan siswa di Indonesia? Jawabanya mengejutkan yaitu 0 (nol) buku. Setamat SMU, kata Taufiq, siswa Indonesia hanya mengenal nama pengarang, tetapi tidak pernah membaca bukunya. Novel-novel hanya mereka baca ringkasanya. Akhirnya, banyak orang terpelajar yang tidak memiliki kebiasaan membaca. Jarang sekali anggota masyarakat yang menjadi anggota perpustakaan. Perpustakaan sepi penmgunjung.. Selain itu, menurunya jumlah perpustakaan di Indonesia sangat tidak memadai dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai 200 juta orang.

            Terdorong keprihatinan inilah, Taufiq menyusun kegiatan gerakan sastra bagi siswa, mahasiswa, dan guru. Sumbangsihnya bagi pendidikan sastra di Indonesia ini berbentuk Sisipan Kaki Langit (untuk SMU, Madrasah Aliyah, Pesantren, SMK) dalam majalah Horison. Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra untuk guru Bahasa dan Sastra di seluruh provinsi (Februari-Oktober 2002). Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBMM), Lomba Mengulas Karya Sastra dan Lomba Menulis Cerita Pendek, dan menghimpun siswa peminat sastra dalam Sanggar Sastra Sisa Indonesia di 12 kota pada tahun 2002.

            Untuk karya dan perananya dalam dunia sastra, Taufiq Ismail menerima banyak penghargaan, diantaranya: Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1970), Culture Visit Award Pemerintah Australia (1970), South East Asia Wrtite Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994), dan Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar